[FANFIC] Sebuah Pelajaran Kecil dari Sebuah Penilaian – Part I

  • Casts: Yamada Ryosuke, Nakajima Yuto, Chinen Yuri, Takaki Yuya
  • Summary: Yuto, seorang siswa cerdas SMA Horikoshi yang sangat benci kepada anak-anak berandalan penghuni sekolahnya, mengannggap bahwa semua anak berandalan adalah sama; pembuat onar. Namun disatu sisi, jagoan SMA Horikoshi, Ryo, seorang yang sangat ditakuti oleh siswa satu sekolahan, juga merupakan seseorang yang sangat Yuto benci, adalah siswa penghuni kelas B yang berkepribadian berbanding terbalik dengan anak berandalan yang ada di pikiran Yuto. Dapatkah mereka disatukann?
  • A/n: Aloha! Ini fanfic HSJ pertama gue. Sebenernya sih ini cerpen tugas dari guru Bahasa Indonesia, cuman apa salahnya gue post di Internet, kali-kali ada yang baca hehe. Well, enjoy!

 

Keributan terdengar jelas dari luar sana ketika Yuto hendak membereskan buku-bukunya yang berserekan di atas meja belajarnya. Ia mendecak lumayan keras, seolah memberitahu mereka untuk diam dan tak mengganggu tidurnya malam itu. Namun keributan tetap saja terdengar. Ia pun mendesah tanda menyerah, tak mempedulikan apa yang terjadi diluar sana dan bertekad untuk pura-pura tak mendengar keributan tersebut. “Dasar anak berandal” katanya jengkel.

Diluar sana terdapat dua gerombolan berandal yang beradu kekuatan. Dinginnya angin malam itu nampaknya tak mengurangi sedikit pun semangat mereka untuk menjadi ‘Sang Jagoan’. Yang pecundang mulai bergelimpangan. Makin banyak saja yang tumbang, hingga akhirnya hanya tersisa dua jagoan yang bertahan. Yang rambutnya sedikit panjang dengan tinggi badan kira-kira 175cm, dan yang berambut pendek dengan tinggi badan sekitar 165cm. Perbedaan nominal tinggi mereka yang lumayan jauh sama sekali tak mengurangi kekompakkan mereka dalam menghadapi musuh dan mempertahankan gelar ‘Sang Jagoan’. Dengan kepercayaan diri yang luar biasa tinggi setelah mengalahkan kurang lebih 10 berandalan lainnya, mereka pun melangkahi satu persatu korban dan menunjukkan bahwa merekalah yang berkuasa. Sebelum akhirnya mereka meninggalkan lokasi perang, salah satu dari dua jagoan tersebut mendeklarasikan kemenangannya.

“Aku dan Ryo adalah jagoan mutlak Horikoshi! Jangan coba-coba sekali lagi kalian mengambil alih posisi itu dari kami!” ucapnya lantang. Yang satunya, yang sepertinya bernama Ryo, kemudian menepuk-nepuk pundak temannya itu mengisyaratkan bahwa mereka harus segera kembali. Ia pun mengangguk dan meninggalkan tempat tersebut.

***

Angin bertiup lumayan kencang hingga mampu menerbangkan dasi Yuto yang telah ia pasang dengan rapih dilehernya pagi itu. Rambutnya mulai berantakan, namun tetap tak mengurangi kharisma seorang Yuto Nakajima. Yuto melangkahkan kakinya dengan santai pagi itu menuju sekolah. Di sepanjang perjalanan, ada saja gadis-gadis yang dengan sengaja mendekati Yuto dan mengajaknya berkenalan. Namun sebagian besar dari mereka hanya diam, hanya bisa mengagumi kharisma sang peringkat 1 bertahan di SMA Horikoshi. Tetapi Yuto tetap santai berjalan. Ia telah terbiasa dengan aktivitas seperti itu di setiap paginya. Moodnya lumayan bagus pagi itu. Menurut definisinya, itu dikarenakan karena tidur malamnya yang nyenyak. Namun moodnya merosot tajam ketika terdengar suara tawa yang tak lagi asing baginya. Sang jagoan Horikoshi, dua jagoan Horikoshi baru saja melewatinya dengan mengendarai sepeda. Yuto menatap punggung mereka dengan tatapan tak suka. Sayang, satu diantara mereka, yang tingginya 175cm itu melihat ke arahnya ketika Yuto menampilkan ekspresi tersebut.

“Ya kan, Yuya?” tanya Ryo dengan tawa. Namun pertanyaannya itu tak mendapat jawaban dari yang bersangkutan. Yuya tertinggal jauh dibelakang sana, tidak, sepedanya tertinggal jauh dibelakang sana. Sedangkan pemiliknya tengah berjalan menghampiri si jenius yang populer di kalangan gadis juga guru-guru. Ryo pun membelokkan sepedanya ke belakang dan memarkirkannya di sebelah sepeda Yuya.

Sadar akan kedatangan salah satu dari si jagoan itu, Yuto pun menghentikan langkahnya, menunggu Yuya tiba di hadapannya.

“Cari ribut kau denganku?!” tanya Yuya dengan kasar dan ekspresi muka sangar ketika ia tiba di hadapan Yuto. Yuto tak berkutik. Ia hanya diam mematung.

“Kau tuli?” tanyanya sekali lagi. “Cari ribut kau denganku?!” kali ini nada Yuya lebih tinggi dari yang sebelumnya. Sebelum Yuya melayangkan tonjokannya ke arah Yuto, Ryo pun datang menahan tonjokan tersebut.

“Sudahlah Yuya, tak ada gunanya kau berkelahi dengan anak macam dia,” nasihatnya. Yuya terdiam sejenak dan berpikir. Benar juga kata Ryo, pikirnya. Tak ada gunanya berkelahi dengan anak macam dia. Yuya pun menuruti kata-kata sahabatnya tersebut. Ryo kembali ke sepedanya sedangkan Yuya memberikan peringatannya “Beruntung kau pagi ini. Jangan harap kau selamat di pertemuan kami berikutnya!”

Ini sudah kesekian kalinya ia diancam Yuya seperti itu, namun ia masih tetap hidup dan menjalani kesehariannya seperti biasa. Yuto sudah kebal dengan segala ancaman-ancaman kosong Yuya. Sebenernya ia mengharapkan saat-saat Yuya membuat ancamannya itu menjadi kenyataan. Ia sudah siap dengan segala kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Ia juga telah berlatih bela diri dengan tekun demi saat-saat emas tersebut. Namun tetap Yuya tak pernah menyentuhnya. Tiap Yuya akan menyakitinya, Ryo selalu datang dan menghentikannya. Seperti pagi itu, ntah sudah keberapa kalinya Ryo menyelamatkan Yuto.

***

Ketika guru mengabsen kehadiran siswa kelas 3-A, Yuto yang duduk di pinggir jendela yang berhadapan langsung dengan dunia luar tengah merenungkan beberapa hal. Saat guru memanggil namanya, Yuto pun mengangkat tangannya seolah memberitahu bahwa ia hadir dalam kelas tersebut. Fisiknya memang hadir, namun tidak dengan pikirannya. Entah sejak tadi pagi Yuto tak bisa berhenti memikirkan Ryo, si Jagoan Horikoshi yang berasal dari kelas 3-B. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya tak ada alasan untuk ia membenci Ryo. Namun selalu ada alasan untuk ia membenci Yuya. Biarpun Yuya dan Ryo adalah jagoan Horikoshi dan keduanya sangat dekat, namun sifat mereka berdua sangatlah berbeda. Yuya, dengan predikat ‘Jagoan Horikoshi’ menempel padanya, membuat ia menjadi semena-mena dan sok berkuasa. Ia ingin semua orang takut padanya. Tak boleh seorang pun mengejeknya atau tidak menuruti perintahnya. Berbeda jauh dengan Ryo. Ryo adalah salah satu siswa teladan dari kelas 3-B. Walaupun nilai-nilai Ryo tidak sebagus nilai-nilai Yuto, namun nilai-nilainya di hampir setiap mata pelajaran tidak ada yang kurang dari standar nilai. Ryo juga tidak seperti Yuya yang ingin semua orang takut padanya. Dalam hal berkelahi, Ryo lebih unggul daripada Yuya. Tanpa ancaman ini itu pun siswa-siswi yang mengenalnya sudah takut padanya. Ia lebih banyak diam.  Tapi tetap saja dimata Yuto, berandalan adalah berandalan, walaupun dia seorang siswa kelas B sekalipun.

Pikirannya buyar ketika Chinen, teman dekatnya yang duduk di depan mejanya memanggilnya.

“Yuto… Dunia memanggilmu,” panggil Chinen ketika guru keluar dari kelas. Yuto seketika tersadar dari lamunannya dan tersenyum. “Apa yang kau pikirkan?”

“Hanya iseng memikirkan hal-hal yang tak penting,” jawab Yuto sambil menggaruk-garuk hidungnya yang tak gatal.

“Jadi bagaimana, kau ikut serta?” tanya Chinen. Ekspresi Yuto berubah menjadi bingung.

“Eh? Ikut serta apa?”

“Jadi aku benar, kau sedang tidak memikirkan hal-hal yang tidak penting. Kau tidak mendengar apa yang tadi Ibu Yoshida bicarakan?” Yuto terdiam sejenak, mencoba mengingat-ingat apa yang wali kelasnya bicarakan ketika ia sedang melamun. Namun ia sama sekali tak mengingat apapun. Yuto pun menggeleng, kemudian menyengir menunjukkan baris gigi-gigi indahnya.

“Minggu depan seluruh kelas 3 akan mengadakan studi tur sekaligus kunjungan wisata ke Hokkaido. Disana kita akan dibagi menjadi beberapa kelompok dan mengerjakan tugas penelitian yang akan diberikan. Kelompoknya guru-guru yang menentukan. Tiap kelompok beranggotakan 4 orang dan menjadi perwakilan dari tiap kelas. Aku penasaran siapa yang akan menjadi anggota kelompokku,” jelas Chinen. Yuto hanya mengangguk, mencoba mencerna tiap ucapan yang dikatakan temannya itu.

“Jadi maksudmu, dalam satu kelompok terdapat satu siswa kelas A, satu siswa kelas B, satu siswa kelas C, dan satu siswa kelas D?” Yuto memastikan. Chinen mengangguk mantap. Ekspresi muka Yuto terlihat sedikit kecewa. “Wah kalau begitu sayang sekali aku tak akan mungkin satu kelompok dengan mu.”

“Yuto, kan tak akan selamanya juga aku yang akan selalu ada di sampingmu. Kalau suatu saat tiba-tiba aku harus pindah keluar kota, masa iya kau mengikuti ku pindah ke sekolah baru ku? Kau harus mencoba mencari teman yang lain selain aku. Mungkin dengan cara seperti ini kau akan lebih mudah mendapatkan banyak teman,” kata Chinen tenang, berusaha membuat temannya kembali bersemangat.

“Kau bicara seperti itu karena kau punya banyak teman. Coba kau berada di posisiku,” protesnya. Chinen pun tersenyum dengan jawaban temannya tersebut.

“Kau tau, ketika pertama kali aku masuk sekolah ini, tak ada seorang pun yang aku kenal. Namun aku mencoba untuk mengenal mereka. Aku memberanikan diri untuk berkenalan dan mengobrol dengan teman-teman baruku itu. Kau juga harus begitu, Yuto. Teman tidak datang begitu saja. Kau harus curiga jika ada teman yang seperti itu. Bisa jadi mereka hanya ingin memanfaatkanmu saja. Teman harus dicari. Kau belum ada sama sekali usaha untuk merubah dirimu, Yuto,” Ia pun mencerna baik-baik tiap ucapan yang yang dilontarkan Chinen. Benar juga, dirinya sama sekali belum berusaha untuk mendapat banyak teman. Menurutnya, Chinen adalah teman terbaik yang ia miliki. Jadi ia tak butuh lagi teman yang lain. Namun jika tiba-tiba Chinen harus pergi, ia akan kehilangan satu-satunya teman yang dimilikinya. Tak ada lagi kesenangan di dalam sekolah. Ia memang harus mulai merubah diri dan mencari teman.

“Kau tahu Chinen, ku rasa kau cocok untuk menjadi motivator. Kata-katamu merubah pandangan ku akan teman, sungguh,” canda Yuto. Chinen memukul bahu Yuto pelan dan tertawa. “Oh ya,  omong-omong kapan nama-nama kelompok untuk studi tur itu di umumkan?”

“Kalau tidak salah siang ini, ketika sedang istirahat makan siang. Pengumumannya akan di tempel di buletin sekolah,” info Chinen. Yuto mengangguk tanda mengerti. Diam-diam di dalam dirinya menantikan ketika bel istirahat makan siang berbunyi.

***

Siswa siswi berebutan menjadi yang terdepan melihat nama mereka di buletin sekolah saat istirahat makan siang. Ekspresi mereka bermacam-macam. Ada yang senang, sedih, kesal, kecewa, dan sebagainya. Melihat kerusuhan yang terjadi saat itu, membuat Yuto mengurungkan niatnya untuk ikut serta dalam kerumunan tersebut. Chinen yang hendak mewakili Yuto ikut serta dalam kerumunan itu pun segera ditahan oleh sahabatnya.

“Jangan!” seru Yuto sambil memegangi siku Chinen.

“Kenapa?” tanyanya keran.

“Kau akan terluka nanti”

“Tak usah pikirkan hal semacam itu. Yang penting kita tahu siapa yang akan menjadi teman kelompok kita!” jawab Chinen bersemangat.

Ketika Chinen hendak melangkahkan kakinya menuju buletin sekolah, langkahnya dihentikan oleh kehadiran dua jagoan sekolah serta para pengikutnya. Yuya dengan segala ke sok jagoannya memerintahkan anak-anak untuk memberikannya jalan menuju buletin sekolah. Ryo hanya berjalan disamping Yuya, tak mengeluarkan kata-kata atau ancaman seperti yang dilakukan temannya itu. Mereka dengan seksama mencari masing-masing dimana nama mereka diletakkan ketika telah sampai di depan buletin sekolah. Yuya pun menemukan apa yang ia cari.

Kelompok 21

1. Chinen Yuuri – 3-A

2. Ryunosuke Kamiki – 3-B

3. Ryutaro Morimoto – 3-C

4. Yuya Takaki – 3-D

Yuya menelaah dengan baik nama-nama tersebut. Ia tahu sebagian besar pemilik nama-nama siswa yang sekelompok dengannya, namun tidak dengan pemilik nama si perwakilan dari kelas A.

“Siapa diantara kalian yang bernama Chinen Yuuri?” ucapnya lantang. Semuanya diam. Tak seorangpun yang berani berbiacara, berbisik sekalipun, apalagi mengangkat tangannya. Namun dengan percaya diri, Chinen mengangkat tangannya.

“Aku!” jawabnya riang. Yuya pun menghampiri si pemilik nama dengan tatapan dibuat seseram mungkin. Tapi nampaknya tatapan tersebut tidak mempan terhadap Chinen.

“Kau, Chinen Yuuri dari kelas A?” tanyanya memastikan. Chinen mengangguk mantap.

“Ya. Perkenalkan, aku Chinen Yuuri dari kelas A. Kau Yuya Takaki kan, dari kelas D? Apakah kau salah satu dari teman kelompokku? Kalau iya, salam kenal! Kuharap kita dapat bekerjasama dengan baik,” jawab Chinen tanpa ada rasa takut sedikitpun menyelimutinya. Yuya terdiam, tak ada kata atau ekspresi yang tergambar di wajahnya. Yuya heran, apakah ekspresinya terlihat lebih bersahabat hari itu? Karena sebelumnya, tak ada satupun yang berani menyapa Yuya dan mengajaknya berkenalan seperti itu. Yuya kemudian mencodongkan kepalanya ke telinga Chinen dan membisikkannya sesuatu.

“Ku harap juga begitu,” dan Yuya pun meninggalkan tempat tersebut. Senyum Chinen memudar ketika Yuya pergi. Ia masih kurang mengerti dengan maksud dari bisikan tersebut.

Ketika Yuya telah hilang dari pandangan, mata mereka pun tertuju pada seseorang yang masih terdiam di depan papan buletin. Sadar akan perhatian tersebut, Ryo pun menengok ke kiri dan ke kanan. Mereka kemudian menunduk, takut sesuatu buruk akan menimpa mereka apabila mereka membalas tatapannya. Ryo pun melanjutkan mencari namanya di buletin, sampai akhirnya matanya berhenti pada daftar nama anggota kelompok 5.

Kelompok 5

1. Yuto Nakajima – 3-A

2. Ryosuke Yamada – 3-B

3. Daiki Arioka – 3-C

4. Haruma Miura – 3-D

Ryo sedikit mendelik ketika ia melihat deretan nama yang tergabung dalam daftar calon teman sekelompoknya. Ekspresinya kembali normal ketika ia memutuskan untuk kembali ke kelasnya. Seluruh siswa yang hadir di tempat tersebut memundurkan langkahnya selangkah kebelakang ketika melihat Ryo mulai bergerak. Ketika akhirnya Ryo hilang dari pandangan, suasana di depan papan buletin sekolah pun kembali seperti awalnya. Yuto dan Chinen hanya bisa menghela napas panjang.

Sepulang sekolah, ketika buletin sekolah sudah sepi dari kerumunan, Yuto pun mencari namanya di dalam daftar. Ketika akhirnya ia menemukan namanya masuk dalam daftar anggota kelompok 5, ekspresinya berubah menjadi lega namun syok di saat yang sama. Lega karena akhirnya ia menemukan namanya dalam daftar, dan syok karena melihat daftar nama anggota kelompoknya. Tepat dibawah namanya, tercantum nama seseorang yang sangat tak ia harapkan. Ryosuke Yamada, salah satu dari dua jagoan yang juga salah seorang berandal SMA Horikoshi. Ekspresinya sangat kecewa dan sedikit kesal. Namun tak ada yang ia dapat perbuat, keputusan itu telah mutlak adanya.

 

Leave a comment